Manajemen Gawat Darurat

Manajemen UGD Gawat Darurat ~ Pelayanan cepat dan tepat dalam memberikan pelayanan kesehatan tentunya juga tidak terlepas dari sebuah unit yang menangani kegawatdaruratan dan di rumah sakit biasa kita kenal dengan nama dan istilah Unit Gawat Darurat(UGD).

Dan pengertian UGD adalah salah satu bagian di rumah sakit yang menyediakan penanganan awal bagi pasien yang menderita sakit dan cedera, yang dapat mengancam kelangsungan hidupnya. Di UGD dapat ditemukan dokter dari berbagai spesialisasi bersama sejumlah perawat dan juga asisten dokter.

Pertolongan pertama merupakan pertolongan secara cepat dan bersifat sementara waktu yang diberikan pada seorang yang menderita luka atau terserang penyakit mendadak. Tujuan yang penting dari pertolongan pertama adalah memberikan perawatan dan pelayanan kesehatan yang akan menguntungkan pada orang-orang tersebut sebagai persiapan terhadap penanganan lebih lanjut lagi nantinya bila memang diperlukan. Untuk itulah pentingnya mengenal kriteria pasien gawat darurat, pasien gawat tidak darurat, pasien tidak gawat tidak darurat untuk bisa menjalankan triage di UGD.

Manajemen Pelayanan Gawat Darurat

Bila dihubungkan dengan dunia keperawatan maka kita akan mengenal akan pelayanan keperawatan gawat darurat. Yang dimaksud dengan pengertian pelayanan keperawatan gawat darurat adalah adalah pelayanan profesional yang didasarkan pada ilmu dan metodologi keperawatan gawat darurat yang berbentuk pelayanan bio-psiko-sosial-spiritual yang komprehensif ditujukan kepada klien / pasien yang mempunyai masalah aktual atau resiko yang disertai kondisi lingkungan yang tidak dapat dikendalikan. Rangkaian kegiatan yang dilaksanakan dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu mencegah kematian atau kecacatan yang mungkin terjadi.

Bisa dicontohkan beberapa kasus yang masuk dalam kategori gawat darurat adalah misalnya cardiac arrest (henti jantung), fibrilasi ventrikel, tension pneumothorax. Di ruang Gawat Darurat kasus semacam tadi disebut di atas biasanya menggunakan kode warna merah dan keadaan seperti ini mengharuskan penanganan segera pada ruang resusitasi.

Prinsip Manajemen Gawat Darurat


Ada beberapa hal yang terkait dengan prinsip pelayanan gawat dan darurat diantaranya yaitu :
  • Bersikap tenang tapi cekatan dan berpikir sebelum bertindak (jangan panik).
  • Sadar peran perawat dalam menghadapi korban dan wali ataupun saksi.
  • Melakukan pengkajian yang cepat dan cermat terhadap masalah yang mengancam jiwa (henti napas, nadi tidak teraba, perdarahan hebat, keracunan).
  • Melakukan pengkajian sistematik sebelum melakukan tindakan secara menyeluruh. Pertahankan korban pada posisi datar atau sesuai (kecuali jika ada ortopnea), lindungi korban dari kedinginan.
  • Jika korban sadar, jelaskan apa yang terjadi, berikan bantuan untuk menenangkan dan yakinkan akan ditolong.
  • Hindari mengangkat/memindahkan yang tidak perlu, memindahkan jika hanya ada kondisi yang membahayakan.
  • Jangan diberi minum jika ada trauma abdomen atau perkiraan kemungkinan tindakan anastesi umum dalam waktu dekat.
  • Jangan dipindahkan (ditransportasi) sebelum pertolongan pertama selesai dilakukan dan terdapat alat transportasi yang memadai.
Dalam beberapa jenis macam kegawatdaruratan yang telah disepakati pimpinan masing-masing rumah sakit dan tentunya dengan menggunakan Protap SOP gawat darurat yang telah tersedia, maka perawat yang bertugas di Instalasi Gawat Darurat dapat bertindak langsung sesuai dengan prosedur tetap rumah sakit yang berlaku. Peran ini sangat dekat kaitannya dengan upaya penyelamatan jiwa pasien secara langsung.

Dalam kegawatdaruratan diperlukan 3 kesiapan, yakni :
  1. Siap mental, dalam arti bahwa ”emergency can not wait”. Setiap unsur yang terkait termasuk perawat harus menghayati bahwa aritmia dapat membawa kematian dalam 1 – 2 menit. Apnea atau penyumbatan jalan napas dapat mematikan dalam 3 menit.
  2. Siap pengetahuan dan ketrampilan. Perawat harus mempunyai bekal pengetahuan teoritis dan patofisiologi berbagai penyakit organ tubuh penting. Selain itu juga keterampilan manual untuk pertolongan pertama.
  3. Siap alat dan obat. Pertolongan pasien gawat darurat tidak dapat dipisahkan dari penyediaan/logistik peralatan dan obat-obatan darurat.

Macam Dan Mode Ventilasi Mekanik

Macam Dan Mode Ventilasi Mekanik / Ventilator.Seperti yang telah dijanjikan dalam postingan sebelum ini yaitu tentang ventilasi mekanik / ventilator maka pembahasan kali ini adalah mengenai hal tentang macam mode ventilasi mekanik dan semoga pula hal tentang macam ventilasi mekanik ini bisa berguna sahabat.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan pengertian dari ventilator adalah suatu alat yang dipergunakan dalam hal membantu sebagian ataupun seluruh proses ventilasi untuk mempertahankan oksigenasi pasien.Ventilator itu sendiri terbagi menjadi beberapa macam.Macam ventilator menurut sifatnya itu adalah :
  1. Volume Cycled Ventilator.Prinsip dasar ventilator ini adalah cyclusnya berdasarkan volume. Mesin berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai volume yang ditentukan. Keuntungan volume cycled ventilator adalah perubahan pada komplain paru pasien tetap memberikan volume tidal yang konsisten.
  2. Pressure Cycled Ventilator.Prinsip dasar ventilator type ini adalah cyclusnya menggunakan tekanan. Mesin berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai tekanan yang telah ditentukan. Pada titik tekanan ini, katup inspirasi tertutup dan ekspirasi terjadi dengan pasif. Kerugian pada type ini bila ada perubahan komplain paru, maka volume udara yang diberikan juga berubah. Sehingga pada pasien yang status parunya tidak stabil, penggunaan ventilator tipe ini tidak dianjurkan.
  3. Cycled Ventilator.Prinsip kerja dari ventilator type ini adalah cyclusnya berdasarkan waktu ekspirasi atau waktu inspirasi yang telah ditentukan. Waktu inspirasi ditentukan oleh waktu dan kecepatan inspirasi (jumlah napas permenit).Normal ratio Inspirasi : Ekspirasi adalah 1 : 2

macam ventilator,mode ventilator,Blog Keperawatan

Adapun mode ventilator terbagi menjadi :
  1. Mode Control.Pada mode ventilator ini kontrol mesin secara terus menerus membantu pernafasan pasien. Ini diberikan pada pasien yang pernafasannya masih sangat jelek, lemah sekali atau bahkan apnea. Pada mode ini ventilator mengontrol pasien, pernafasan diberikan ke pasien pada frekwensi dan volume yang telah ditentukan pada ventilator, tanpa menghiraukan upaya pasien untuk mengawali inspirasi. Bila pasien sadar, mode ini dapat menimbulkan ansietas tinggi dan ketidaknyamanan dan bila pasien berusaha nafas sendiri bisa terjadi fighting (tabrakan antara udara inspirasi dan ekspirasi), tekanan dalam paru meningkat dan bisa berakibat alveoli pecah dan terjadi pneumothorax. Contoh mode control ini adalah: CR (Controlled Respiration), CMV (Controlled Mandatory Ventilation), IPPV (Intermitten Positive Pressure Ventilation)
  2. Mode IMV / SIMV: Intermitten Mandatory Ventilation/Sincronized Intermitten Mandatory Ventilation.Pada mode ventilator ini memberikan bantuan nafas secara selang seling dengan nafas pasien itu sendiri. Pada mode IMV pernafasan mandatory diberikan pada frekwensi yang di set tanpa menghiraukan apakah pasien pada saat inspirasi atau ekspirasi sehingga bisa terjadi fighting dengan segala akibatnya. Oleh karena itu pada ventilator generasi terakhir mode IMVnya disinkronisasi (SIMV). Sehingga pernafasan mandatory diberikan sinkron dengan picuan pasien. Mode IMV/SIMV diberikan pada pasien yang sudah bisa nafas spontan tetapi belum normal sehingga masih memerlukan bantuan.
  3. Mode ASB / PS : (Assisted Spontaneus Breathing / Pressure Suport.Mode ini diberikan pada pasien yang sudah bisa nafas spontan atau pasien yang masih bisa bernafas tetapi tidal volumnenya tidak cukup karena nafasnya dangkal. Pada mode ini pasien harus mempunyai kendali untuk bernafas. Bila pasien tidak mampu untuk memicu trigger maka udara pernafasan tidak diberikan.
  4. CPAP : Continous Positive Air Pressure.Pada mode ventilator ini mesin hanya memberikan tekanan positif dan diberikan pada pasien yang sudah bisa bernafas dengan adekuat.Tujuan pemberian mode ini adalah untuk mencegah atelektasis dan melatih otot-otot pernafasan sebelum pasien dilepas dari ventilator.
Dalam pemberian ventilator juga sebagai tenaga kesehatan tentunya mempunyai beberapa prosedur.Prosedur dalam hal pemberian ventilator sebelum dipasang adalah dengan melakukan tes paru pada ventilator untuk memastikan pengesetan sesuai pedoman standar. Sedangkan pengesetan awal adalah sebagai berikut:
  • Fraksi oksigen inspirasi (FiO2) 100%
  • Frekwensi pernafasan: 10-15 kali/menit
  • Volume Tidal: 4-5 ml/kg BB
  • Aliran inspirasi: 40-60 liter/detik
  • PEEP (Possitive End Expiratory Pressure) atau tekanan positif akhir ekspirasi: 0-5 Cm, ini diberikan pada pasien yang mengalami oedema paru dan untuk mencegah atelektasis. Pengesetan untuk pasien ditentukan oleh tujuan terapi dan perubahan pengesetan ditentukan oleh respon pasien yang ditunjukkan oleh hasil analisa gas darah (Blood Gas).
Bila selama pengobatan serta perawatan di ruang ICCU ini keadaan umum pasien membaik maka akan dilakukan penyapihan pada pasien.Penyapihan ini adalah menurunkan secara perlahan set-set dalam mesin ventilator dan disesuaikan dengan kondisi pasien dan bertujuan agar mesin ventilator itu bisa dilepas dan pasien tidak tergantung kepada mesin ventilator.Beberapa kriteria pasien penyapihan ventilator adalah :
  • Kapasitas vital 10-15 ml/kg BB
  • Kekuatan inspirasi 20 cm H2O atau lebih besar
  • Volume tidal 4-5 ml/kg BB
  • Frekwensi pernafasan kurang dari 20 kali/menit.
Demikian tadi sahabat mengenai macam mode ventilasi mekanik dan semoga bisa berguna serta bermanfaat.

Ventilasi Mekanik / Ventilator

Manfaat Tujuan Ventilator Ventilasi Mekanik adalah merupakan salah satu tindakan medis kedokteran untuk membantu pernafasan psien dengan menggunakan alat bantu mesin. Pemakaian Ventilator ini tentunya tidak asing bagi rekan-rekan sejawat perawat yang bertugas di Ruang Intensive (ICCU) karena alat ini memang harus ada dalam ruangan tersebut.

Jadi yang dimaksud dengan Pengertian ventilator adalah merupakan suatu alat yang dipergunakan dalam hal membantu sebagian ataupun seluruh proses ventilasi untuk mempertahankan oksigenasi pasien. Ventilator memberikan bantuan dengan mengambil alih pernafasan pasien yang dapat di set menjadi mode bantuan sepenuhnya atau bantuan sebagian. Mode Bantuan sepenuhnya diantaranya VC (Volume Control) PC (Pressure Control), CMV (Control Minute Volume).

Tujuan Pemakaian Alat Bantu Pernafasan Ventilator

Indikasi Pemasangan Ventilator


Beberapa kriteria pasien yang yang dipasang alat bantu nafas ventilasi mekanik ini antara lain adalah sebagai berikut :
  1. Pasien dengan respiratory failure (gagal napas)
  2. Pasien dengan operasi tekhik hemodilusi.
  3. Respiratory Arrest.
Dan sebab yang terbanyak dari pada pemasangan ventilator ini adalah pasien dengan gagal nafas. Sehingga dengan kegagalan nafas tersebut maka harus dibantu dengan alat ventilator. Ada beberapa sebab yang mengakibatkan seseorang mengalami gagal nafas.

Penyebab Gagal Nafas adalah sebagai berikut :
1. Penyebab Sentral / Pusat oleh karena :
  • Trauma kepala contohnya pada kasus pasien dengan contusio cerebri.
  • Radang otak dan contohnya pada kasus pasien dengan Encepalitis.
  • Pengaruh obat-obatan contohnya adalah akibat dari obat anestesi ataupun narkotika.
  • Gangguan vaskuler contohnya adalah pada kasus pasien dengan infark otak ataupun perdarahan otak.
2. Penyebab Perifer oleh karena :
  • Kelainan Neuromuskuler:
  • Obstruksi jalan napas.
  • Guillian Bare syndrom
  • Trauma servikal.
  • Edema paru, atelektasis, ARDS
  • Fraktur costae, pneumothorak, haemathorak.
  • Kegagalan jantung kiri.
  • Obat pelemas otot.
  • Kelainan tulang iga / thorak.
  • Tetanus.
  • Kelainan jalan napas.
  • Kelainan jantung.
  • Kelainan di paru.
Syarat Kriteria Pemasangan Ventilator bila pasien mengalami beberapa hal sebagai berikut :
  1. Frekuensi napas lebih dari 35 kali per menit.
  2. Hasil analisa gas darah dengan O2 masker PaO2 kurang dari 70 mmHg.
  3. PaCO2 lebih dari 60 mmHg
  4. AaDO2 dengan O2 100 % hasilnya lebih dari 350 mmHg.
  5. Vital capasity kurang dari 15 ml / kg BB.

Klasifikasi Mode Ventilasi Mekanik


Ada beberapa mode ventilator ini adalah sebagai berikut :
  • Volume Cycled Ventilator. Prinsip dasar ventilator ini adalah cyclusnya berdasarkan volume. Mesin berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai volume yang ditentukan. Keuntungan volume cycled ventilator adalah perubahan pada komplain paru pasien tetap memberikan volume tidal yang konsisten.
  • Pressure Cycled Ventilator. Prinsip dasar macam dan mode pada ventilator type ini adalah cyclusnya menggunakan tekanan. Mesin berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai tekanan yang telah ditentukan. Pada titik tekanan ini, katup inspirasi tertutup dan ekspirasi terjadi dengan pasif. Kerugian pada type ini bila ada perubahan komplain paru, maka volume udara yang diberikan juga berubah. Sehingga pada pasien yang setatus parunya tidak stabil, penggunaan ventilator tipe ini tidak dianjurkan.
  • Time Cycled Ventilator. Prinsip kerja dari ventilator type ini adalah cyclusnya berdasarkan wamtu ekspirasi atau waktu inspirasi yang telah ditentukan. Waktu inspirasi ditentukan oleh waktu dan kecepatan inspirasi (jumlah napas permenit) Normal ratio I : E  (inspirasi : ekspirasi ) 1 : 2.

Fase Resusitasi Jantung Paru

Fase Resusitasi Jantung Paru.Melanjutkan postingan yang bersambung kemarin tentang Penatalaksanaan RJP maka hari ini Blog Keperawatan akan mencoba share kembali tentang Fase Rasusitasi Jantung Paru.Sebelumnya admin mengucapkan terima kasih kepada sahabat Cerita Anak Kost yang telah meluangkan waktunya untuk membantu membuatkan header Blog Keperawatan ini.Hanya ucapan terima kasih yang admin bisa ucapkan sahabat.Lanjut saja ke topik postingan hari ini yaitu beberapa fase resusitasi jantung paru ini dan semoga bisa bermanfaat.

Fase Rasusitasi Jantung Paru ini terdiri dari 3 fase penting yaitu :

FASE I (BANTUAN HIDUP DASAR)
Bila terjadi nafas primer, jantung terus dapat memompa darah selama beberapa menit dan sisa O2 yang berada dalam paru darah akan terus beredar ke otak dan organ vital lain. Penanganan dini pada korban dengan henti nafas atau sumbatan jalan nafas dapat mencegah henti jantung. Bila terjadi henti jantung primer, O2 tidak beredar dan O2 yang tersisa dalam organ vital akan habis dalam beberapa detik.

Henti jantung dapat disertai dengan fenomena listrik berikut :
  • Fibrilasi Ventrikular (VF).
  • Takhikardia Ventrikular (VT).
  • Asistol Ventrikular atau disosiasi elektromekanis.
Tindakan resusitasi meliputi posisi pembukaan jalan nafas buatan dan kompresi dada luar dilakukan kalau memang betul dibutuhkan. Ini ditentukan penilaian yang tepat.Setiap langkah ABC RJP dimulai dengan penentuan tidak ada respon, tidak ada nafas dan tidak ada nadi. Pada korban yang tiba- tiba kolaps, kesadaran harus segera ditentukan dengan tindakan goncangan atau teriak yang terdiri dari menggoncangkan korban dengan lembut dan memanggil keras.

Bila tidak dijumpai tanggapan hendaknya korban diletakkan dalam posisi terlentang dan ABC pada BHD hendaknya dilakukan. Sementara itu mintalah pertolongan dan bila mungkin aktifitaskan sistem pelayanan medis darurat.

fase resusitasi jantung paru,Fase RJP,Fase CPR,Blog Keperawatan

1. Airway (Jalan Nafas)
Sumbatan jalan nafas oleh lidah yang menutupi dinding posterior faring adalah merupakan persoalan yang sering timbul pada pasien yang tidak sadar dengan posisi terlentang. Resusitasi tidak akan berhasil bila sumbatan tidak diatasi. Tiga cara telah dianjurkan untuk menjaga agar jalan nafas tetap terbuka yaitu dengan metode ekstensi kepala angkat leher, metode ekstensi kepala angkat dagu dan metode angkat dagu dorong mandibula, dimana metode angkat dagu dorong mandibula lebih efektif dalam membuka jalan nafas atas daripada angkat leher.

Pendorongan mandibula saja tanpa ekstensi kepala juga merupakan metode paling aman untuk memelihara jalan nafas atas tetap terbuka, pada pasien dengan dugaan patah tulang leher. Bila korban yang tidak sadar bernafas spontan dan adekuat dengan tidak ada sianosis, korban sebaiknya diletakkan dalam posisi mantap untuk mencegah aspirasi.

Bila tidak diketahui atau dicurigai ada trauma kepala dan leher, korban hanya digerakkan atau dipindahkan bila memang mutlak diperlukan karena gerak yang tidak betul dapat mengakibatkan paralisis pada korban dengan cedera leher. Disini teknik dorong mandibula tanpa ekstensi kepala merupakan cara yang paling aman untuk membuka jalan nafas, bila dengan ini belum berhasil dapat dilakukan sedikit ekstensi kepala.

2. Breathing (Pernafasan)
Setelah jalan nafas terbuka, penolong hendaknya segera menilai apakah pasien dapat bernafas spontan atau tidak. Ini dapat dilakukan dengan mendengarkan gerak nafas pada dada korban. Bila pernafasan spontan tidak timbul kembali diperlukan ventilasi buatan.

Untuk melakukan ventilasi mulut ke mulut penolong hendaknya mempertahankan kepala dan leher korban dalam salah satu sikap yang telah disebutkan diatas dan memencet hidung korban dengan satu tangan atau dua kali ventilasi dalam. Kemudian segera raba denyut nadi karotis atau femoralis. Bila ia tetap henti nafas tetapi masih mempunyai denyut nadi diberikan ventilasi yang dalam sebesar 800 ml sampai 1200 ml setiap 5 detik.

Bila denyut nadi karotis tidak teraba, dua kali ventilasi dalam harus diberikan sesudah tiap 15 kompresi dada pada resusitasi yang dilakukan oleh seorang penolong dan satu ventilasi dalam sesudah tiap 5 kompresi dada pada yang dilakukan oleh 2 penolong. Tanda ventilasi buatan yang adekuat adalah dada korban yang terlihat naik turun dengan amplitudo yang cukup ada udara keluar melalui hidung dan mulut korban selama respirasi sebagai tambahan selama pemberian ventilasi pada korban, penolong dapat merasakan tahanan dan pengembangan paru korban ketika diisi.

Pada beberapa pasien ventilasi mulut ke hidung mungkin lebih efektif daripada ventilasi mulut ke mulut. Ventilasi mulut ke stoma hendaknya dilakukan pada pasien dengan trakeostomi. Bila ventilasi mulut ke mulut atau mulut ke hidung tidak berhasil baik walaupun jalan nafas telah dicoba dibuka, faring korban harus diperiksa untuk melihat apakah ada sekresi atau benda asing.

Pada tindakan jari menyapu, korban hendaknya digulingkan pada salah satu sisinya. Sesudah dengan paksa membuka mulut korban dengan satu tangan memegang lidah dan rahangnya, penolong memasukkan jari telunjuk dan jari tengah tangan yang lain kedalam satu sisi mulut korban dalam satu gerakan menyapu. Bila tindakan ini gagal untuk mengeluarkan benda asing, hendaknya dikerjakan hentakan abdomen atau hentakan dada, sehingga tekanan udara dalam abdomen meningkat dan akan mendorong benda untuk keluar.

Hentakan dada dilakukan pada korban yang terlentang, teknik ini sama dengan kompresi dada luar. Urutan yang dianjurkan adalah :
  1. Berikan 6 sampai 10 kali hentakan abdomen.
  2. Buka mulut dan lakukan sapuan jari.
  3. Reposisi pasien, buka jalan nafas dan coba beri ventilasi buatan dapat dilakukan dengan sukses.
Bila sesudah dilakukan gerak tripel (ekstensi kepala, buka mulut dan dorong mandibula), pembersihan mulut dan faring ternyata masih ada sumbatan jalan nafas, dapat dicoba pemasangan pipa jalan nafas. Bila dengan ini belum berhasil perlu dilakukan intubasi trakheal. Bila tidak mungkin atau tidak dapat dilakukan intubasi trakheal, sebagai alternatifnya adalah krikotomi atau fungsi membrane krikotiroid dengan jarum berlumen besar (misal dengan kanula intravena 14 G). Bila masih ada sumbatan di bronkhus maka perlu tindakan pengeluaran benda asing dari bronkhus atau terapi bronkhospasme dengan aminophilin atau adrenalin.

3. Circulation (Sirkulasi)
Bantuan ketiga dalam BHD adalah menilai dan membantu sirkulasi. Tanda- tanda henti jantung adalah:
  1. Kesadaran hilang dalam waktu 15 detik setelah henti jantung.
  2. Tak teraba denyut nadi arteri besar (femoralis dan karotis pada orang dewasa atau brakhialis pada bayi).
  3. Henti nafas atau megap- megap.
  4. Terlihat seperti mati.
  5. Warna kulit pucat sampai kelabu.
  6. Pupil dilatasi (45 detik setelah henti jantung)
  7. Tidak ada nadi yang teraba pada arteri besar, pemeriksaan arteri karotis sesering mungkin merupakan tanda utama henti jantung.
Diagnosis henti jantung dapat ditegakkan bila pasien tidak sadar dan tidak teraba denyut arteri besar. Pemberian ventilasi buatan dan kompresi dada luar diperlukan pada keadaan sangat gawat.Korban hendaknya terlentang pada permukaan yang keras agar kompresi dada luar yang dilakukan efektif. Penolong berlutut di samping korban dan meletakkan sebelah tangannya diatas tengah pertengahan bawah sternum korban sepanjang sumbu panjangnya dengan jarak 2 jari dari persambungan episternum. Tangan penolong yang lain diletakkan diatas tangan pertama, jari- jari terkunci dengan lurus dan kedua bahu tepat diatas sternum korban, penolong memberikan tekanan ventrikel ke bawah yang cukup untuk menekan sternum 4 sampai 5 cm.

Setelah kompresi harus ada relaksasi, tetapi kedua tangan tidak boleh diangkat dari dada korban, dianjurkan lama kompresi sama dengan lama relaksasi. Bila ada satu penolong, 15 kompresi dada luar (laju 80 sampai 100 kali/ menit) harus diikuti dengan pemberian 2 kali ventilasi dalam (2 sampai 3 detik). Dalam satu menit harus ada 4 siklus kompresi dan ventilasi (yaitu minimal 60 kompresi dada dan 8 ventilasi). Jadi 15 kali kompresi dan 2 ventilasi harus selesai maksimal dalam 15 detik. Bila ada 2 penolong, kompresi dada diberikan oleh satu penolong dengan laju 80 sampai 100 kali/ menit dan pemberian satu kali ventilasi dalam 1 sampai 1,5 detik oleh penolong kedua sesudah tiap kompresi kelima. Dalam satu menit minimal harus ada 60 kompresi dada dan 12 ventilasi. Jadi lima kompresi dan satu ventilasi maksimal dalam 5 detik.

Kompresi dada harus dilakukan secara halus dan berirama. Bila dilakukan dengan benar, kompresi dada luar dapat menghasilkan tekanan sistolik lebih dari 100 mmHg, dan tekanan rata- rata 40 mmHg pada arteri karotis. Kompresi dada tidak boleh terputus lebih dari 7 detik setiap kalinya, kecuali pada intubasi trakheal, transportasi naik turun tangga dapat sampai 15 detik. Sesudah 4 daur kompresi dan ventilasi dengan rasio 15 : 2, lakukan reevaluasi pada pasien. Periksa apakah denyut karotis sudah timbul (5 detik). Bila tidak ada denyut lanjutkan dengan langkah berikut : Periksa pernafasan 3 sampai 5 detik bila ada, pantau pernafasan dan nadi dengan ketat. Bila tidak ada lakukan ventilasi buatan 12 kali per menit dan pantau nadi dengan ketat. Bila RJP dilanjutkan beberapa menit dihentikan, periksa apakah sudah timbul nadi dan ventilasi spontan begitu seterusnya.

FASE II (BANTUAN HIDUP LANJUT)
Bantuan hidup lanjut berhubungan dengan teknik yang ditujukan untuk memperbaiki ventilasi dan oksigenasi korban dan pada diagnosis serta terapi gangguan irama utama selama henti jantung. Bantuan hidup dasar memerlukan peralatan khusus dan penggunaan obat. Harus segera dimulai bila diagnosis henti jantung atau henti nafas dibuat dan harus diteruskan sampai bantuan hidup lanjut diberikan. Setelah dilakukan ABC RJP dan belum timbul denyut jantung spontan, maka resusitasi diteruskan dengan langkah DEF.

1. Drug and Fluid (Obat dan Cairan)
Tanpa menunggu hasil EKG dapat diberikan :
a. Adrenalin : 0,5 – 1,0 mg dosis untuk orang dewasa, 10 mcg/ kg pada anak- anak. Cara pemberian : iv, intratrakeal lewat pipa trakeal (1 ml adrenalin diencerkan dengan 9 ml akuades steril, bukan NaCl, berarti dalam 1 ml mengandung 100 mcg adrenalin). Jika keduanya tidak mungkin : lakukan intrakardial (hanya oleh tenaga yang sudah terlatih). Di ulang tiap 5 menit dengan dosis sama sampai timbul denyut spontan atau mati jantung.
b. Natrium Bikarbonat : dosis mula 1 mEq/ kg (bila henti jantung lebih dari 2 menit) kemudian dapat diulang tiap 10 menit dengan dosis 0,5 mEq/ kg sampai timbul denyut jantung spontan atau mati jantung.
Penggunaan natrium bikarbonat tidak lagi dianjurkan kecuali pada resusitasi yang lama, yaitu pada korban yang diberi ventilasi buatan yang lama dan efisien, sebab kalau tidak asidosis intraseluler justru bertambah dan tidak berkurang. Penjelasan untuk keanehan ini bukanlah hal yang baru. CO2 yang tidak dihasilkan dari pemecahan bikarbonat segera menyeberangi membran sel jika CO2 tidak diangkut oleh respirasi.

2. EKG
Meliputi fibrilasi ventrikuler, asistol ventrikuler dan disosiasi elektro mekanis.
3. Fibrilation Treatment (Terapi Fibrilasi)

Elektroda dipasang disebelah kiri puting susu kiri disebelah kanan sternum atas, defibrilasi luar arus searah :
  • 200 – 300 joule pada dewasa.
  • 100 – 200 joule pada anak.
  • 50 – 100 joule pada bayi

FASE III (BANTUAN HIDUP JANGKA LAMA ATAU PENGELOLAAN PASCA RESUSITASI).
Jenis pengelolaan pasien yang diperlukan pasien yang telah mendapat resusitasi bergantung sepenuhnya kepada resusitasi. Pasien yang mempunyai defisit neurologis dan tekanan darah terpelihara normal tanpa aritmia hanya memerlukan pantauan intensif dan observasi terus menerus terhadap sirkulasi, pernafasan, fungsi otak, ginjal dan hati. Pasien yang mempunyai kegagalan satu atau lebih dari satu sistem memerlukan bantuan ventilasi atau sirkulasi, terapi aritmia, dialisis atau resusitasi otak.

Organ yang paling terpengaruh oleh kerusakan hipoksemik dan iskemik selama henti jantung adalah otak. Satu dari lima orang yang selamat dari henti jantung mempunyai defisit neurologis. Bila pasien tetap tidak sadar, hendaknya dilakukan upaya untuk memelihara perfusi dan oksigenasi otak. Tindakan ini meliputi penggunaan agen vasoaktif untuk memelihara tekanan darah sistemik yang normal, penggunaan steroid untuk mengurangi sembab otak dan penggunaan diuretik untuk menurunkan tekanan intracranial. Oksigen tambahan hendaknya diberikan dan hiperventilasi derajad sedang juga membantu.

KEPUTUSAN UNTUK MENGAKHIRI UPAYA RESUSITASI.
Semua tenaga kesehatan dituntut untuk memulai RJP segera setelah diagnosis henti nafas atau henti jantung dibuat, tetapi dokter pribadi korban hendaknya lebih dulu diminta nasehatnya sebelum upaya resusitasi dihentikan. Tidak sadar ada pernafasan spontan dan refleks muntah dan dilatasi pupil yang menetap selama 15 sampai 30 menit atau lebih merupakan petunjuk kematian otak kecuali pasien hipotermik atau dibawah efek barbiturat atau dalam anesthesia umum. Akan tetapi tidak adanya tanggapan jantung terhadap tindakan resusitasi. Tidak ada aktivitas listrik jantung selama paling sedikit 30 menit walaupun dilakukan upaya RJP dan terapi obat yang optimal menandakan mati jantung.

Dalam resusitasi darurat, seseorang dinyatakan mati, jika :
  1. Terdapat tanda- tanda mati jantung.
  2. Sesudah dimulai resusitasi pasien tetap tidak sadar, tidak timbul ventilasi spontan dan refleks muntah serta pupil tetap dilatasi selama 15 sampai 30 menit atau lebih, kecuali kalau pasien hipotermik atau dibawah pengaruh barbiturat atau anestesia umum.
Dalam keadaan darurat resusitasi dapat diakhiri bila ada salah satu dari berikut ini :
  1. Telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif.
  2. Upaya resusitasi telah diambil alih oleh orang lain yang lebih bertanggung jawab meneruskan resusitasi (bila tidak ada dokter).
  3. Seorang dokter mengambil alih tanggung jawab (bila tidak ada dokter sebelumnya).
  4. Penolong terlalu capek sehingga tak sanggup meneruskan resusitasi.
  5. Pasien dinyatakan meninggal dunia.
Setelah dimulai resusitasi ternyata diketahui bahwa pasien berada dalam stadium terminal suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau hampir dapat dipastikan bahwa fungsi serebral tak akan pulih (yaitu sesudah setengah atau satu jam terbukti tidak ada nadi pada normotermia tanpa RJP.

Demikian tadi sahabat semuanya artikel mengenai Fase Rasusitasi Jantung Paru dan semoga artikel ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan kita semuanya.

Penatalaksanaan Resusitasi Jantung Paru

Penatalaksanaan Resusitasi Jantung Paru.Melanjutkan postingan kemarin di Blog Keperawatan ini yaitu mengenal resusitasi jantung paru maka pada kali ini akan diposting mengenai penatalaksanaan resusitasi jantung paru.Semoga pengenalan akan penatalaksanaan RJP ini bisa menambah pengetahuan kita semua.

Berhasil tidaknya resusitasi jantung paru tergantung pada cepat tindakan dan tepatnya teknik pelaksanaannya. Pada beberapa keadaan, tindakan resusitasi tidak dianjurkan (tidak efektif) antara lain bila henti jantung (arrest) telah berlangsung lebih dari 5 menit karena biasanya kerusakan otak permanen telah terjadi, pada keganasan stadium lanjut, gagal jantung refrakter, edema paru refrakter, renjatan yang mendahului “arrest”, kelainan neurologik berat, penyakit ginjal, hati dan paru yang lanjut.Sehingga penatalaksanaan resusitasi jantung paru dilaksanakan sesegera dan sedepat mungkin diberikan.

Resusitasi jantung paru hanya dilakukan pada penderita yang mengalami henti jantung atau henti nafas dengan hilangnya kesadaran.oleh karena itu harus selalu dimulai dengan menilai respon penderita, memastikan penderita tidak bernafas dan tidak ada pulsasi. Pada penatalaksanaan resusitasi jantung paru harus diketahui antara lain, kapan resusitasi dilakukan dan kapan resusitasi tidak dilakukan.

penatalaksaan resusitasi jantung paru,RJP,Blog Keperawatan

1. Resusitasi DILAKUKAN pada :
  1. Infark jantung “kecil” yang mengakibatkan “kematian listrik”
  2. Serangan Adams-Stokes
  3. Hipoksia akut
  4. Keracunan dan kelebihan dosis obat-obatan
  5. Sengatan listrik
  6. Refleks vagal
  7. Tenggelam dan kecelakaan-kecelakaan lain yang masih memberi peluang untuk hidup.
2. Resusitasi TIDAK DILAKUKAN pada :
  1. Kematian normal, seperti yang biasa terjadi pada penyakit akut atau kronik yang berat.
  2. Stadium terminal suatu penyakit yang tak dapat disembuhkan lagi.
  3. Bila hampir dapat dipastikan bahwa fungsi serebral tidak akan pulih, yaitu sesudah ½ – 1 jam terbukti tidak ada nadi pada normotermia tanpa RJP.
Pada penatalaksanaan resusitasi jantung paru penilaian tahapan BHD sangat penting. Tindakan resusitasi (yaitu posisi, pembukaan jalan nafas, nafas buatan dan kompresi dada luar) dilakukan kalau memang betul dibutuhkan. Ini ditentukan penilaian yang tepat, setiap langkah ABC RJP dimulai dengan : penentuan tidak ada respons, tidak ada nafas dan tidak ada nadi.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam resusitasi jantung paru adalah sebagai berikut :
1. Airway (jalan nafas)
Berhasilnya resusitasi tergantung dari cepatnya pembukaan jalan nafas. Caranya ialah segera menekuk kepala korban ke belakang sejauh mungkin, posisi terlentang kadang-kadang sudah cukup menolong karena sumbatan anatomis akibat lidah jatuh ke belakang dapat dihilangkan. Kepala harus dipertahankan dalam posisi ini.

Bila tindakan ini tidak menolong,maka rahang bawah ditarik ke depan.Caranya ialah :
  1. Tarik mandibula ke depan dengan ibu jari sambil,
  2. Mendorong kepala ke belakang dan kemudian,
  3. Buka rahang bawah untuk memudahkan bernafas melalui mulut atau hidung.
  4. Penarikan rahang bawah paling baik dilakukan bila penolong berada pada bagian puncak kepala korban. Bila korban tidak mau bernafas spontan, penolong harus pindah ke samping korban untuk segera melakukan pernafasan buatan mulut ke mulut atau mulut ke hidung.
2. Breathing ( Pernafasan )
Dalam melakukan pernafasan mulut ke mulut penolong menggunakan satu tangan di belakang leher korban sebagai ganjalan agar kepala tetap tertarik ke belakang, tangan yang lain menutup hidung korban (dengan ibu jari dan telunjuk) sambil turut menekan dahi korban ke belakang. Penolong menghirup nafas dalam kemudian meniupkan udara ke dalam mulut korban dengan kuat. Ekspirasi korban adalah secara pasif, sambil diperhatikan gerakan dada waktu mengecil.

Siklus ini diulang satu kali tiap lima detik selama pernafasan masih belum adekuat.
Pernafasan yang adekuat dinilai tiap kali tiupan oleh penolong, yaitu perhatikan :
  1. Gerakan dada waktu membesar dan mengecil
  2. Merasakan tahanan waktu meniup dan isi paru korban waktu mengembang
  3. Dengan suara dan rasakan udara yang keluar waktu ekspirasi.
  4. Tiupan pertama ialah 4 kali tiupan cepat, penuh, tanpa menunggu paru korban mengecil sampai batas habis.

3. Circulation ( Sirkulasi Buatan )
Sering disebut juga dengan Kompresi Jantung Luar (KJL). Henti jantung (cardiac arrest) ialah hentinya jantung dan peredaran darah secara tiba-tiba, pada seseorang yang tadinya tidak apa-apa; merupakan keadaan darurat yang paling gawat.

Sebab-sebab henti jantung :
  • Afiksi dan hipoksi
  • Serangan jantung
  • Syok listrik
  • Obat-obatan
  • Reaksi sensitifitas
  • Kateterisasi jantung
  • Anestesi.
Untuk mencegah mati biologi (serebral death), pertolongan harus diberikan dalam 3 atau 4 menit setelah hilangnya sirkulasi. Bila terjadi henti jantung yang tidak terduga, maka langkah-langkah ABC dari tunjangan hidup dasar harus segera dilakukan, termasuk pernafasan dan sirkulasi buatan.
Henti jantung diketahui dari :
  1. Hilangnya denyut nadi pada arteri besar
  2. Korban tidak sadar
  3. Korban tampak seperti mati
  4. Hilangnya gerakan bernafas atau megap-megap.
Pada henti jantung yang tidak diketahui, penolong pertama-tama membuka jalan nafas dengan menarik kepala ke belakang. Bila korban tidak bernafas, segera tiup paru korban 3-5 kali lalu raba denyut arteri carotis.

Perabaan arteri carotis lebih dianjurkan karena :
  • Penolong sudah berada di daerah kepala korban untuk melakukan pernafasan buatan
  • Daerah leher biasanya terbuka, tidak perlu melepas pakaian korban
  • Arteri karotis adalah sentral dan kadang-kadang masih berdenyut sekalipun daerah perifer lainnya tidak teraba lagi.
Bila teraba kembali denyut nadi, teruskan ventilasi. Bila denyut nadi hilang atau diragukan, maka ini adalah indikasi untuk memulai sirkulasi buatan dengan kompresi jantung luar. Kompresi jantung luar harus disertai dengan pernafasan buatan.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan ABC pada RJP tersebut adalah sebagai berikut :
  1. RJP jangan berhenti lebih dari 5 detik dengan alasan apapun
  2. Tidak perlu memindahkan penderita ke tempat yang lebih baik, kecuali bila ia sudah stabil
  3. Jangan menekan prosesus xifoideus pada ujung tulang dada, karena dapat berakibat robeknya hati
  4. Diantara tiap kompresi, tangan harus melepas tekanan tetapi melekat pada sternum, jari-jari jangan menekan iga korban
  5. Hindarkan gerakan yang menyentak. Kompresi harus lembut, teratur dan tidak terputus
  6. Perhatikan komplikasi yang mungkin karena RJP.
ABC pada RJP dilakukan pada korban yang mengalami henti jantung dapat memberi kemungkinan beberapa hasil :
  • Korban menjadi sadar kembali
  • Korban dinyatakan mati, ini dapat disebabkan karena pertolongan RJP yang terlambat diberikan atau pertolongan tak terlambat tetapi tidak betul pelaksanaannya.
  • Korban belum dinyatakan mati dan belum timbul denyut jantung spontan. Dalam hal ini perlu diberi pertolongan lebih lanjut yaitu bantuan hidup lanjut (BHL).
Pengajaran resusitasi jantung paru (RJP) dibagi dalam 3 fase, yaitu :
  1. Bantuan Hidup Dasar (BDH).
  2. Bantuan Hidup Lanjut (BHL).
  3. Bantuan Hidup Jangka Lama.
Dan dalam 9 langkah dengan menggunakan huruf abjad dari A sampai I.
Fase I : untuk oksigenasi darurat, terdiri dari :
  • (A) Airway Control : penguasaan jalan nafas.
  • (B) Breathing Support : ventilasi bantuan dan oksigen paru darurat.
  • (C) Circulation Support : pengenalan tidak adanya denyut nadi dan pengadaan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung, penghentian perdarahan dan posisi untuk syok.
Fase II : untuk memulai sirkulasi spontan terdiri dari :
  • (D) Drugs and Fluid Intravenous Infusion : pemberian obat dan cairan tanpa menunggu hasil EKG.
  • (E) Electrocardioscopy (Cardiography).
  • (F) Fibrillation Treatment : biasanya dengan syok listrik (defibrilasi).
Fase III : untuk pengelolaan intensif pasca resusitasi, terdiri dari :
  • (G) Gauging : menetukan dan memberi terapi penyebab kematian dan menilai sejauh mana pasien dapat diselamatkan.
  • (H) Human Mentation : SSP diharapkan pulih dengan tindakan resusitasi otak yang baru dan
  • (I) Intensive Care : resusitasi jangka panjang.
Demikian tadi sahabat sedikit mengenai penatalaksanaan resusitasi jantung paru dan semoga bermanfaat sahabat semuanya.

Resusitasi Jantung Paru

Dalam dunia kesehatan ataupun keperawatan istilah resusitasi jantung paru ini tentunya tidak asing lagi. Apalagi bagi teman sejawat yang berdinas di emergency / UGD, ICCU, HND tindakan RJP ini sudah akrab, bahkan harus dimiliki seorang perawat atau pun tenaga kesehatan lainnya dengan baik. Karena tindakan yang harus segera diberikan bila ada indikasinya.

Pengertian resusitasi jantung paru adalah tindakan pertolongan pertama pada orang yang mengalami henti napas atau pun henti jantung oleh karena sebab-sebab tertentu. Mempunyai tujuan RJP untuk membuka kembali jalan napas yang menyempit atau tertutup sama sekali.

Resusitasi jantung paru ini mengandung arti harfiah "Menghidupkan Kembali" tentunya dimaksudkan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu episode henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis. Pertolongan ini dilakukan untuk mengatasi henti nafas dan henti jantung. Sehingga bisa diambil kesimpulan bahwa RJP merupakan gabungan penyelamatan pernapasan ( bantuan napas ) dengan kompresi dada eksternal. Resusitasi digunakan ketika seorang korban mengalami henti jantung dan juga henti napas.

Resusitasi Jantung Paru

RJP dapat diklasifikasikan menjadi 2 komponen utama yaitu :
  1. Bantuan Hidup Dasar. Adalah usaha yang dilakukan untuk menjaga jalan nafas (airway) tetap terbuka, menunjang pernafasan dan sirkulasi dan tanpa menggunakan alat-alat bantu. Usaha ini harus dimulai dengan mengenali secara tepat keadaan henti jantung atau henti nafas dan segera memberikan bantuan sirkulasi dan ventilasi. Tujuan dari Usaha bantuan hidup dasar ini adalah dengan cepat mempertahankan pasokan oksigen ke otak, jantung dan alat-alat vital lainnya sambil menunggu pengobatan lanjutan. Pengalaman menunjukkan bahwa resusitasi jantung paru akan berhasil terutama pada keadaan "henti jantung" yang disaksikan (witnessed) dimana resusitasi segera dilakukan oleh orang yang berada di sekitar korban.
  2. Bantuan Hidup Lanjut / BHL. Yang dimaksud dengan bantuan hidup lanjut adalah usaha yang dilakukan setelah dilakukan usaha bantuan hidup dasar dengan memberikan obat-obatan yang dapat memperpanjang hidup pasien.
Ada beberapa penyebab henti nafas dan juga penyebab henti jantung. Beberapa hal yang bisa menyebabkan henti jantung dan henti nafas diantaranya yaitu :
  1. Infark miokard akut, dengan komplikasi fibrilasi ventrikel, cardiac standstill, aritmia lain, renjatan dan edema paru.
  2. Emboli paru, karena adanya penyumbatan aliran darah paru.
  3. Aneurisma disekans, karena kehilangan darah intravaskular.
  4. Hipoksia, asidosis, karena adanya gagal jantung atau kegagalan paru berat, tenggelam, aspirasi, penyumbatan trakea, pneumothoraks, kelebihan dosis obat, kelainan susunan saraf pusat.
  5. Gagal ginjal, karena hyperkalemia
Henti jantung biasanya terjadi beberapa menit setelah henti nafas. Umumnya, walaupun kegagalan pernafasan telah terjadi, denyut jantung masih dapat berlangsung terus sampai kira-kira 30 menit. Pada henti jantung, dilatasi pupil kadang-kadang tidak jelas. Dilatasi pupil mulai terjadi 45 detik setelah aliran darah ke otak terhenti dan dilatasi maksimal terjadi dalam waktu 1 menit 45 detik. Bila telah terjadi dilatasi pupil maksimal, hal ini menandakan sudah terjadi 50 % kerusakan otak irreversibel.

Resusitasi Jantung Paru ini bertujuan untuk mengembalikan fungsi pernafasan dan atau sirkulasi, dan penanganan akibat henti nafas (respiratory arrest) dan atau henti jantung (cardiac arrest), yang mana fungsi tersebut gagal total oleh sebab yang memungkinkan untuk hidup normal.

Penyebab henti nafas bisa dikarenakan oleh :
  1. Sumbatan jalan nafas oleh karena adanya benda asing, aspirasi, lidah yang jatuh ke belakang,pipa trakhea terlipat, kanula trakhea tersumbat, kelainan akut glotis dan sekitarnya (sembab glotis, perdarahan).
  2. Depresi pernafasan Sentral akibat dari obat, intoksikasi, Pa O2 rendah, Pa CO2 tinggi, setelah henti jantung, tumor otak dan tenggelam.Perifer : obat pelumpuh otot, penyakit miastenia gravis, poliomyelitis.
Komponen penting dalam Resusitasi Jantung Paru atau dikenal dengan ABC adalah :
1. Airway (Jalan Nafas)
2. Breathing (Pernafasan)
3. Circulation (Sirkulasi)